Golekinfo|Demak, Rabu (15/10/2025), langit di atas pesisir utara Demak tampak muram. Kabut tipis menggantung di antara barisan pohon bakau muda yang baru ditanam. Di sela bau asin laut dan lumpur yang menguar, belasan polisi berseragam bersama warga, pelajar, dan perangkat desa sibuk menancapkan bibit mangrove ke tanah basah. Tak ada kemewahan, hanya semangat sederhana: menyelamatkan pantai yang perlahan hilang ditelan laut.
Di titik utama penanaman, Desa Tambakbulusan, Kecamatan Karangtengah, Wakapolres Demak Kompol Hendrie Suryo Liquisasono berdiri dengan celana tergulung dan sepatu penuh lumpur. Ia memegang sebatang bibit kecil di tangan kirinya. “Satu batang kecil ini, kalau tumbuh kuat, bisa menyelamatkan rumah-rumah di sepanjang pantai,” katanya lirih, tapi tegas.
Hari itu, 6.000 bibit mangrove ditanam serentak di dua lokasi: Tambakbulusan dan Dukuh Siklenting, Desa Wedung. Gerakan ini bagian dari program “Mageri Segoro” yang digagas Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, sebuah inisiatif yang mengajak masyarakat menjaga laut dan pesisir melalui rehabilitasi mangrove di 17 kabupaten/kota pesisir.
“Mageri Segoro menargetkan 1,5 juta bibit mangrove hingga akhir tahun. Kami tidak ingin gerakan ini hanya seremonial. Ini langkah konkret menahan abrasi yang setiap tahun menggerus pesisir kami,” ujar Hendrie.
Demak adalah satu dari daerah paling rentan abrasi di pesisir utara Jawa Tengah. Dalam dua dekade terakhir, lebih dari 50 ribu hektar daratan hilang, tersapu gelombang dan rob. Setiap tahun, garis pantai mundur hingga 7 sentimeter—angka kecil di kertas, tapi besar dampaknya bagi warga yang rumahnya kini tinggal menunggu giliran.
Habibullah, Kepala Desa Tambakbulusan, masih ingat betul bagaimana sebagian tanah di desanya dulu menjadi tambak produktif. “Sekarang jadi laut. Rumah-rumah yang dulu di pinggir jalan, sekarang di pinggir ombak,” katanya sambil memandangi horizon yang mulai ditelan air.
Bagi warga Tambakbulusan, menanam mangrove bukan lagi kegiatan simbolik, tapi soal bertahan hidup. Mangrove menjadi penyangga terakhir antara mereka dan laut yang terus mendekat. “Kalau bakau tumbuh baik, ikan juga kembali. Ekonomi jalan lagi,” ujar Habibullah.
Kompol Hendrie melihat kegiatan ini bukan hanya tentang lingkungan, tapi juga soal kemanusiaan. Ia menyebut bahwa menjaga alam adalah bagian dari menjaga masyarakat. “Polisi tidak hanya bicara hukum, tapi juga keamanan dalam arti luas. Kalau pantai rusak, warga kehilangan rumah, kehilangan mata pencaharian. Itu juga ancaman keamanan,” ucapnya.
Sore menjelang, ratusan batang mangrove berdiri tegak di garis pantai. Air laut perlahan naik, menutupi akar-akar muda itu. Dari kejauhan, deretan bibit tampak seperti barisan kecil penjaga yang sedang bersiap menghadapi ombak besar.
“Mudah-mudahan mereka kuat,” kata seorang siswa SMP yang ikut menanam. Tangannya kotor, tapi matanya berbinar. “Biar lautnya nggak marah lagi.”
Di antara lumpur, keringat, dan senyum, gerakan Mageri Segoro hari itu bukan sekadar penanaman. Ia menjadi simbol tentang bagaimana manusia berusaha berdamai dengan alam—tidak dengan melawan, tapi dengan menanam harapan.

Posting Komentar untuk "Menanam Harapan di Tanah Lumpur: Gerakan Hijau Polres dan Pemkab Demak Melawan Abrasi"