zmedia

Semangat Lima Hari di Semarang, Inspirasi untuk Tak Pernah Menyerah”

 

Dok.humasjateng

Golekinfo|SEMARANG — Malam di kawasan Tugu Muda, Semarang, Selasa (14/10/2025), terasa lebih hangat dari biasanya. Di bawah cahaya temaram lampu dan semilir angin kota, puluhan veteran berdiri tegak, menyaksikan generasi penerus bangsa menundukkan kepala penuh hormat. Suasana haru berpadu dengan kebanggaan ketika Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi, memimpin upacara peringatan Pertempuran Lima Hari di Semarang—sebuah peristiwa yang menandai nyala abadi semangat kemerdekaan di Bumi Pertiwi.


“Perjuangan tidak pernah ada kata usai,” tegas Luthfi dalam amanatnya. “Hari ini kita menghadapi tantangan dan cobaan yang berbeda, namun semangatnya tetap sama: pantang menyerah demi Indonesia.”


Ia menegaskan, semangat perjuangan para pahlawan seperti dr. Kariadi dan para pejuang Semarang harus menjadi cermin bagi generasi masa kini. Mereka bukan hanya berperang melawan penjajah, tetapi juga melawan ketakutan dan keraguan. “Mereka memberi teladan tentang pengabdian dan kebersamaan. Nilai-nilai itu harus kita hidupkan dalam kerja, karya, dan inovasi hari ini,” ujarnya.


Di hadapan Sekda Jateng Sumarno, Wali Kota Semarang Agustina Wilujeng Pramestuti, jajaran Forkopimda, dan para veteran, Gubernur Luthfi juga menyinggung pentingnya menjaga semangat gotong royong. Dengan 37 juta penduduk yang tersebar di 8.573 desa/kelurahan, 576 kecamatan, dan 35 kabupaten/kota, Jawa Tengah menurutnya bukan sekadar wilayah administratif, tetapi miniatur Indonesia yang kaya akan perbedaan dan potensi.


“Keragaman itu harus menjadi kekuatan, bukan alasan untuk berpisah. Dari Semarang, dari Jawa Tengah, mari kita kobarkan kembali semangat perjuangan untuk membangun Indonesia yang lebih sejahtera,” pesan Luthfi, menutup pidatonya.


Suasana semakin syahdu ketika St. Sukirno membacakan nukilan sejarah Pertempuran Lima Hari di Semarang. Suara narasi yang mengalun di udara malam mengembalikan memori pada Oktober 1945—saat rakyat Semarang, yang baru saja merayakan kemerdekaan, harus menghadapi agresi tentara Jepang. Lima hari pertempuran tanpa henti, darah dan air mata menyatu di jalanan kota, namun dari sanalah lahir tekad untuk mempertahankan kemerdekaan dengan harga apa pun.


Kisah heroik itu kemudian dihidupkan kembali lewat pertunjukan kolosal Teater Pitoelas dari Universitas 17 Agustus Semarang. Gerak tubuh para aktor, pekik perjuangan, dan dentuman suara efek perang membuat ribuan pasang mata yang hadir hanyut dalam suasana masa lalu. Tepuk tangan panjang menggema, bukan sekadar untuk penampilan teatrikal, tetapi untuk menghormati sejarah dan para pejuang yang telah tiada.


Bagi masyarakat Semarang, peringatan Pertempuran Lima Hari bukan sekadar ritual tahunan. Ia adalah refleksi dan pengingat: bahwa kemerdekaan tidak datang begitu saja, dan perjuangan hari ini adalah melawan kemiskinan, kebodohan, dan perpecahan.


Dari Tugu Muda yang tegak berdiri—saksi bisu keberanian anak bangsa—semangat itu terus menyala. Seperti pesan Gubernur Luthfi malam itu, “Perjuangan tidak berhenti di medan tempur. Ia hidup di setiap langkah kita, setiap kerja yang jujur, dan setiap tekad untuk membuat Indonesia lebih baik.”

Posting Komentar untuk "Semangat Lima Hari di Semarang, Inspirasi untuk Tak Pernah Menyerah”"